Garut 10 juni 2025., Dalam iklim demokrasi yang sehat, kritik dari masyarakat terhadap kebijakan publik adalah salah satu fondasi penting dalam memastikan keberlangsungan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Namun, tidak semua bentuk kritik selalu diterima dengan tangan terbuka. Beberapa justru dibalas dengan tudingan yang menyudutkan, sebagaimana yang terjadi pada gerakan Panggung Rakyat Mimbar Bebas yang belakangan ini digelar oleh aliansi masyarakat Garut.
Salah satu tokoh yang bersuara keras merespons kondisi ini adalah Radit Julian, seorang pemerhati kebijakan publik yang selama ini dikenal aktif mengawal dinamika pemerintahan di Kabupaten Garut. Ia menanggapi pernyataan kontroversial dari aktivis senior, Ateng Sujana — atau yang akrab disapa Wa Ateng — yang menyiratkan bahwa gerakan Panggung Rakyat Mimbar Bebas memiliki muatan politik tertentu dan berpotensi ditunggangi oleh kepentingan tertentu.
Radit secara terbuka menyampaikan keberatannya terhadap pernyataan tersebut, yang menurutnya tidak berdasar dan merendahkan semangat perjuangan warga.
> “Pernyataan Wa Ateng itu sangat disayangkan. Seolah-olah pergerakan kami ini tidak tulus dan hanya alat politik. Padahal, kami bergerak murni dari hati nurani rakyat. Ini adalah bentuk ekspresi kekecewaan dan harapan masyarakat Garut terhadap 100 hari kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Garut,” tegas Radit dalam wawancaranya,di depan kantor DPRD kab Garut Selasa, 10 Juni 2025.
Radit menyebut bahwa panggung rakyat yang digelar bukanlah aksi sembrono tanpa dasar. Justru sebaliknya, ia dan rekan-rekannya dari berbagai elemen masyarakat telah melakukan kajian dan pengamatan terhadap sejumlah kebijakan yang dikeluarkan dalam 100 hari pertama pemerintahan daerah saat ini. Menurutnya, banyak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil, serta minim keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusannya.
> “Kami ingin mengingatkan, bukan menjatuhkan. Demokrasi memberi ruang untuk kritik, dan kami menggunakan ruang itu untuk menyuarakan aspirasi. Tidak ada satu pun agenda tersembunyi di balik aksi kami. Tidak ada partai, tidak ada sponsor, hanya rakyat yang menginginkan perubahan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Radit menekankan bahwa Panggung Rakyat Mimbar Bebas digagas oleh aliansi masyarakat sipil yang terdiri dari 36 LSM dan OKP (Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda) se-Kabupaten Garut. Mereka berkumpul dan bersatu dalam satu semangat yang sama: mendorong pemerintahan daerah untuk lebih terbuka, responsif, dan berpihak pada rakyat.
Radit juga mengkritik keras sikap sebagian tokoh yang justru melemahkan semangat perjuangan rakyat dengan narasi-narasi yang menjurus pada pembusukan karakter.
> “Kalau kita mulai curiga dengan gerakan rakyat yang tulus, maka siapa lagi yang bisa kita percaya? Kalau suara rakyat dianggap sebagai ancaman, lalu suara siapa yang dianggap sah?” ujarnya dengan nada prihatin.
Menurut Radit, penting bagi semua pihak, terutama tokoh-tokoh senior seperti Wa Ateng, untuk memahami esensi dari gerakan sipil yang lahir dari bawah. Ia menyarankan agar ruang-ruang perdebatan tidak diisi dengan saling tuding, tetapi dijadikan sebagai momentum untuk saling mendengarkan dan memperbaiki.
> “Kami tidak anti-pemerintah. Kami justru ingin pemerintah lebih baik. Tapi jika pemerintah dan para elit hanya mau mendengar yang memuji, lalu siapa yang akan menyuarakan yang dikritik oleh rakyat?” tutup Radit.
Gerakan Panggung Rakyat Mimbar Bebas sendiri masih akan terus bergulir, dengan berbagai agenda lanjutan untuk mengawal kinerja pemerintah daerah. Mereka menuntut transparansi, evaluasi kebijakan, serta pelibatan masyarakat dalam setiap proses pembangunan.
Di tengah derasnya arus informasi dan politik yang kerap membelokkan fakta, suara-suara jernih dari masyarakat seperti yang diwakili oleh Radit Julian dan aliansi LSM serta OKP di Garut menjadi pengingat bahwa demokrasi yang sehat harus tumbuh dari keberanian untuk bicara — tanpa takut dilabeli, tanpa takut dituding, dan tanpa lelah memperjuangkan kebenaran.(red)