Konsep Sunda Buhun Disuhun,Fondasi Moral Bagi Agama dan Negara

 

Portal warta bela negara Garut – Pemerhati kesejarahan dan budaya, Kang Oos Supyadin SE MM, menegaskan bahwa ajaran Sunda Buhun merupakan kearifan lokal masyarakat Sunda yang sangat penting untuk dilestarikan (disuhun). Menurutnya, nilai-nilai spiritual dan filosofis dalam ajaran Sunda Buhun masih relevan untuk menjadi pedoman dalam kehidupan beragama maupun dalam sistem kenegaraan modern.

“Sunda Buhun bukan sekadar warisan budaya, melainkan ajaran luhur yang menuntun manusia agar cageur, bageur, bener, pinter, dan singer. Dalam konteks kenegaraan, ini menjadi fondasi moral bagi pemimpin agar membangun masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan,” ujar Kang Oos.

Sunda Buhun dalam Keagamaan dan Kehidupan Sosial

Dalam konteks keagamaan, Sunda Buhun berpadu dengan ajaran Islam melalui prinsip silih asih, silih asah, silih asuh. Nilai-nilai ini menekankan harmoni, toleransi, dan penghormatan terhadap alam serta leluhur, sebagaimana tercermin dalam falsafah “Hana Nguni Hana Mangke, Tan Hana Nguni Tan Hana Mangke” (ada kehidupan hari ini karena ada kehidupan sebelumnya).

Adapun dalam kehidupan sosial, masyarakat Sunda memegang falsafah “sapapait, samamanis, sabagja, sacilaka, sareundeuk saigel, sabobot sapihanean”, yakni semangat kebersamaan dalam suka maupun duka, serta kesetaraan dalam menghadapi tantangan hidup.

Panca Waluya: Pilar Kemanusiaan Sunda Buhun

Kang Oos menjelaskan, konsep Panca Waluya atau lima kesempurnaan menjadi pilar utama ajaran Sunda Buhun tentang kemanusiaan. Lima prinsip itu ialah:

1. Cageur – sehat jasmani dan rohani.

2. Bageur – berbudi pekerti luhur.

3. Bener – menjunjung kejujuran dan integritas.

4. Pinter – cerdas dan berpengetahuan.

5. Singer – terampil, kreatif, dan adaptif.

 

“Konsep ini sudah dikembangkan menjadi Gapura Panca Waluya di Jawa Barat, sebagai paradigma pendidikan karakter berbasis kearifan lokal,” ungkapnya.

BACA JUGA  Sinergitas Kepolisian dan Media ,Kapolres Garut Berikan Penghargaan kepada Wartawan

Tata Ruang dan Kearifan Lokal

Dalam aspek tata ruang, Sunda Buhun menekankan harmoni dengan alam. Pepatah “gunung kudu awian, lengkob kudu balongan, lebak kudu sawahan” menjadi pedoman menjaga keseimbangan lingkungan.

Filosofi bambu (awi) juga menjadi simbol peradaban Sunda Buhun. Dengan akar yang kuat, bambu melambangkan manusia yang berakar pada jati diri, sekaligus berkembang ke atas. “Ini disebut konsep Rawayan Jati, yakni kesadaran diri sejati yang berlandaskan ketauhidan,” jelas Kang Oos.

Konsep Kepemimpinan Sunda Buhun

Dalam hal pemerintahan, Sunda Buhun menekankan kepemimpinan yang bijaksana, fleksibel, dan berintegritas. Pepatah “landung kandungan laér aisan, leuleus jeujeur liat tali” mengajarkan bahwa pemimpin harus sabar, penuh pertimbangan, namun tetap tegas dan kuat.

Selain itu, pemimpin ideal digambarkan dengan ungkapan “hade congcot, hade bacot, hade gogog, hade tagog”, yakni baik dalam ucapan, perbuatan, maupun penampilan.

Ajaran kenegaraan Sunda Buhun juga tercermin dalam peribahasa “ciri sabumi cara sadesa, jawadah tutumbiritna”, yang menekankan penghargaan terhadap keberagaman budaya setiap daerah namun tetap dalam bingkai persatuan.

Warisan Luhur yang Relevan

Menurut Kang Oos, dengan memahami Sunda Buhun, masyarakat dapat menggali potensi kehidupan di masa depan. “Sunda Buhun adalah panduan untuk membangun peradaban yang harmonis, adil, dan sejahtera. Ia relevan bagi tegaknya agama sekaligus tertatanya negara,” pungkasnya.
(Red)