Portal Warta Bela Negara.Garut 25 juli 2025.Setiap hari Jumat, selepas salat Jumat berkumandang dan umat mulai bertebaran menunaikan aktivitas siang, langkah kaki seorang perempuan paruh baya, Mak Solehah, terdengar menyusuri gang kecil menuju sebuah rumah di kawasan kota Garut. Di tangannya, keranjang penuh kacang rebus masih mengepul hangat, dagangan yang ia bawa keliling sejak pagi. Namun, tujuannya kali ini bukan untuk berdagang, melainkan untuk bersilaturahmi—sekaligus membawa secuil harapan akan keberkahan dari sosok yang selama lebih dari satu dekade menjadi panutan dan pelindung bagi rakyat kecil seperti dirinya.
Rumah itu adalah kediaman Rudy Gunawan, mantan Bupati Garut ke-26, yang kini tak lagi menjabat tetapi tetap memelihara tradisi dan semangat yang ia bawa sejak hari pertama menjabat: berbagi. Bagi Mak Solehah dan banyak warga kecil lainnya, Jumat bukan sekadar hari ibadah. Jumat adalah hari berkah, hari di mana pintu rumah Rudy Gunawan selalu terbuka, bukan hanya secara harfiah, tetapi juga secara hati.
Tradisi yang Tak Pernah Padam
Sejak dilantik sebagai Bupati Garut pada tahun 2014, Rudy Gunawan sudah menunjukkan komitmennya untuk dekat dengan rakyat. Ia tidak sekadar duduk di kursi kekuasaan, melainkan menjadikan kekuasaannya sebagai alat untuk melayani. Salah satu simbol paling nyata dari hal itu adalah pendopo, rumah dinas resmi Bupati Garut. Tidak seperti banyak pejabat lainnya yang memagari rumah dinas mereka dengan protokol ketat dan penjagaan berlapis, Rudy Gunawan justru membuka pintu gerbang pendopo lebar-lebar.
“Bagi saya, pendopo itu bukan tempat tinggal pribadi, melainkan simbol kebersamaan antara rakyat dan pemimpinnya,” tutur Rudy suatu ketika kepada wartawan lokal. “Kalau gerbangnya ditutup, itu seperti memutus hubungan batin antara saya dan rakyat Garut.”
Setiap Jumat, sejak masa jabatannya dimulai hingga hari ini—meski ia telah purna tugas—tradisi itu tetap berjalan. Rumahnya yang kini bukan lagi pendopo, tetap menjadi tempat berkumpulnya anak-anak yatim, kaum duafa, pedagang kecil, dan masyarakat dari berbagai penjuru kota. Di sana mereka menerima bukan hanya bingkisan sembako atau uang santunan, tetapi juga kehangatan, doa, dan rasa dihargai.
Makna Berbagi yang Sejati
Bagi Rudy Gunawan, berbagi bukan soal materi semata. Ini tentang menjaga nilai kemanusiaan, tentang menghadirkan negara dalam bentuk paling konkret: perhatian dan kepedulian. Ia kerap mengatakan bahwa dirinya tidak sedang “memberi,” tapi hanya menyampaikan titipan rezeki dari Allah kepada mereka yang lebih berhak.
Sosok Mak Solehah menjadi gambaran nyata dari mereka yang mendapat manfaat dari ketulusan Rudy. Mak Solehah, dengan usia yang sudah senja, tetap berjuang mengais rezeki halal dengan menjajakan kacang rebus. Ia mengaku tak pernah merasa sungkan datang ke rumah Rudy setiap Jumat, karena dari awal sudah diajak seperti keluarga.
“Pak Rudy itu beda, dari dulu nggak pernah pilih-pilih. Mau kita pedagang, pengamen, anak jalanan, semuanya disambut dengan senyum. Saya ingat dulu waktu dia masih tinggal di pendopo, pintu gerbang selalu terbuka, kayak ngajak kita semua masuk tanpa rasa takut,” tutur Mak Solehah sambil menyeka air matanya.
Warisan Sosial yang Abadi
Meski kini tak lagi menjabat, Rudy Gunawan tetap menjalankan misi sosialnya dengan konsisten. Bahkan, beberapa relawan dan mantan staf di lingkungan pemerintah kabupaten ikut membantu meneruskan kegiatan Jumat berkah ini. Rumahnya yang sederhana berubah menjadi tempat berteduh bagi banyak jiwa yang haus akan perhatian.
Banyak yang mengatakan bahwa di tengah zaman yang penuh kompetisi dan individualisme, sosok seperti Rudy Gunawan adalah oase yang langka. Ia telah membuktikan bahwa jabatan hanyalah alat; yang lebih penting adalah apa yang diperjuangkan melalui jabatan itu.
Dan hingga kini, setiap Jumat, langkah Mak Solehah terus menapak. Ia bukan hanya membawa kacang rebus, tetapi juga membawa kisah tentang bagaimana seorang pemimpin sejati tak pernah berhenti melayani, meski masa jabatannya telah usai.(Red)