Wartabelanegara.Com_Polewali Mandar_(25/9/2025)
Secara teoritis, APBD merupakan instrumen kebijakan fiskal daerah yang harus dilaksanakan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
Analogi APBD sebagai “kue besar” menegaskan bahwa setiap elemen masyarakat memiliki hak atas “potongan” yang sepadan.
Proses perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan APBD harus memastikan tidak ada dominasi kepentingan kelompok tertentu yang mengorbankan hak publik.
Distribusi anggaran yang timpang berpotensi menimbulkan ketidakadilan struktural, di mana pembangunan hanya terfokus pada sektor atau wilayah tertentu.
Hal ini bertentangan dengan prinsip pemerataan sebagaimana tercermin dalam Pasal 298 ayat (1) UU 23/2014, yang menekankan bahwa APBD digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, keadilan dalam pengelolaan APBD bukan sekadar jargon politik, melainkan kewajiban hukum. Setiap rupiah harus dapat ditelusuri manfaatnya bagi masyarakat luas, bukan hanya segelintir elite. Seperti kue besar yang dipotong di hadapan banyak orang, transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat mutlak agar tidak terjadi penyalahgunaan.
Sebagaimana pepatah lama mengingatkan, “adil itu memberi sama rata, bijak itu memberi sama rasa.” Maknanya, pengelolaan APBD tidak cukup hanya dibagi rata secara nominal, tetapi juga harus menghadirkan rasa keadilan dalam hasil pembangunan.
Kritik bukan untuk meruntuhkan, melainkan untuk membangun negara agar uang rakyat kembali ke rakyat.
Oleh: Muh. Sukri.,S.Pd.I. M.Si (Akademisi) Pengamat Kebijakan Daerah.