Advokat Dadan Nugraha S.H Soroti Polemik Legitimasi DPRD Garut Pasca Sanksi Etik Ketua KPU;Perlunya Kepastian Hukum dan Audit Komperhensip

News46 Dilihat

 

Portal Warta Bela Negara Garut, 13 April 2025 – Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Garut berbuntut panjang. Keraguan atas legitimasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut yang telah dilantik kini menjadi sorotan tajam. Advokat dan Pemerhati Kebijakan Publik, Dadan Nugraha, S.H., memberikan perspektif yuridis mendalam terkait polemik ini.

Menurut Dadan Nugraha, dasar hukum pelantikan anggota DPRD Garut adalah Ketetapan KPU Kabupaten Garut tentang Hasil Pemilihan Umum. Ketetapan ini, sebagai produk hukum tata usaha negara, memiliki kekuatan mengikat. Namun, sanksi etik yang dijatuhkan kepada Ketua KPU memunculkan pertanyaan krusial terkait asas legalitas yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

“Setiap tindakan administrasi negara, termasuk penetapan hasil pemilu, haruslah didasarkan pada prosedur dan prinsip hukum yang sah. Pelanggaran etik oleh pimpinan KPU, yang memiliki tanggung jawab sentral dalam proses rekapitulasi, berpotensi menciderai akuntabilitas dan reliabilitas seluruh tahapan pemilu,” ujar Dadan Nugraha saat dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu (13/04/2025).

Lebih lanjut, Dadan menjelaskan bahwa potensi cacat prosedural atau bahkan cacat substansial pada ketetapan hasil pemilu tidak dapat diabaikan. Hal ini relevan dengan prinsip Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang meliputi asas kecermatan dan kehati-hatian. “Jika integritas penyelenggara dipertanyakan, maka produk hukum yang dihasilkannya pun patut diragukan validitasnya,” tegasnya.

Dari sudut pandang hukum pemilu, Dadan Nugraha menyoroti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal-pasal terkait tugas dan wewenang KPU, serta ketentuan mengenai integritas penyelenggara, menjadi relevan dalam konteks ini. “Pelanggaran etik, meskipun ditujukan kepada individu, memiliki implikasi sistemik terhadap kepercayaan publik. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 secara jelas mengamanatkan bahwa penyelenggara pemilu harus memiliki integritas, profesionalitas, akuntabilitas, dan transparansi,” jelas Dadan.

BACA JUGA  Kemeriahan dan Antusiasme Warnai Festival PAUD di Wanaraja

Menyikapi implikasi kelembagaan, Dadan Nugraha menekankan pentingnya klarifikasi dan langkah konkret untuk memulihkan kepercayaan publik. “Meskipun DKPP telah menjalankan fungsinya sesuai dengan Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, implikasi putusan etik ini terhadap hasil pemilu perlu diperjelas. Tidak ada preseden yang secara eksplisit mengatur hal ini, sehingga interpretasi hukum yang cermat sangat dibutuhkan,” katanya.
Untuk mengatasi polemik ini, Dadan Nugraha mengusulkan beberapa langkah penting:

* Klarifikasi Transparan dari KPU: “KPU Provinsi Jawa Barat dan KPU Republik Indonesia harus segera memberikan penjelasan yang komprehensif dan transparan mengenai proses rekapitulasi di Garut. Detail mekanisme pengawasan internal dan jaminan validitas data harus diungkapkan kepada publik. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan hal ini,” tegas Dadan.

* Audit Independen: “Jika keraguan publik terus menguat, opsi audit independen terhadap seluruh tahapan rekapitulasi suara harus dipertimbangkan. Auditor yang memiliki kompetensi di bidang hukum pemilu dan audit forensik dapat memberikan penilaian objektif terhadap proses yang telah berjalan,” usulnya.

* Evaluasi Sistemik dan Revisi Regulasi: “Kasus ini menjadi momentum untuk mengevaluasi secara menyeluruh mekanisme rekrutmen, pengawasan, dan penegakan etik penyelenggara pemilu. Perbaikan regulasi, termasuk kemungkinan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 atau peraturan pelaksanaannya, perlu dipertimbangkan untuk memperkuat integritas pemilu,” kata Dadan.

* Kepastian Hukum dengan Kehati-hatian: “Asas praduga tak bersalah dan kepastian hukum harus tetap dihormati bagi anggota DPRD yang telah dilantik.

Namun, jika ditemukan bukti kuat melalui proses hukum yang sah terkait keterlibatan anggota dewan dalam praktik yang tidak etis atau ilegal yang mempengaruhi hasil pemilu, maka tindakan hukum yang sesuai harus diambil berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan,” pungkas Dadan.

BACA JUGA  Tunggku Pembakaran Sampah di kp.Cirengit Hangus Terbakar Di dwsa Mekargalih,Tokoh Masyarakat Harapkan Bantuan Pemerintah

Dadan Nugraha menekankan bahwa penanganan polemik ini harus mengedepankan prinsip kehati-hatian, keadilan, dan kepastian hukum demi menjaga legitimasi demokrasi dan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu secara keseluruhan.

(Taofik hidayat)