Portal Warta Bela Negara Garut 01 Sepetember 2025. Pembahasan pembentukan Kode etik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut kembali menjadi sorotan. Alih-alih menjadi pedoman integritas, aturan ini dikhawatirkan justru berubah menjadi tameng politik yang melindungi oknum wakil rakyat dari jeratan sanksi etik.
Kode etik yang seharusnya dirancang untuk menjaga kehormatan lembaga legislatif, kini dipertanyakan efektivitasnya. Publik menduga, masih banyak praktik pelanggaran etik yang menguap begitu saja tanpa penindakan tegas. Apalagi saat ini DPRD Garut belum memiliki kode etik.
Kode Etik: Antara Idealisme dan Kenyataan
Secara normatif, kode etik DPRD mengatur hal-hal mendasar: integritas, kejujuran, netralitas, tanggung jawab, hingga kerja sama antaranggota. Aturan ini diperkuat oleh UU Nomor 17 Tahun 2014 (MD3), UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Permendagri Nomor 6 Tahun 2024.
Namun, idealisme itu kerap berbenturan dengan kenyataan. Dugaan penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan, hingga perilaku tidak pantas beberapa anggota dewan, sering hanya berakhir dengan teguran ringan. Padahal, sanksi berat berupa pemberhentian jelas tercantum dalam aturan.
Badan Kehormatan di Bawah Tekanan
Badan Kehormatan (BK) DPRD Garut sejatinya memiliki kewenangan penuh untuk memproses laporan masyarakat maupun sesama anggota dewan. Tetapi dalam praktiknya, mekanisme persidangan kode etik sering dinilai tidak transparan.
Bahkan, tak jarang muncul dugaan bahwa proses tersebut hanya formalitas. Putusan sidang bersifat mengikat, tetapi pelaksanaannya kerap terkendala tarik-menarik kepentingan politik di internal dewan.
Direktur Garut Indeks Perubahan Strategis (GIPS), Ade Sudrajat, melontarkan kritik pedas terhadap belum memiliki kode etik di tubuh DPRD Garut.
“Jangan sampai kode etik yang saat ini tengah dibuat banci hanya melindungi skandal dan persoalan internal DPRD. Jika tidak ditegakkan secara konsisten, aturan ini justru menjadi alat politik yang merugikan rakyat,” tegasnya, Senin (1/9/2025).
Ade menilai, masyarakat berhak mendapatkan kepastian bahwa wakilnya benar-benar bekerja dengan etika, bukan sekadar mencari perlindungan dari aturan yang mereka buat sendiri.
Publik Menunggu Ketegasan
Skandal etik di DPRD Garut bukan hanya soal perilaku individu, melainkan soal kredibilitas lembaga legislatif secara keseluruhan. Tanpa keberanian untuk menindak tegas pelanggar, DPRD berisiko kehilangan legitimasi di mata rakyat.
Publik kini menuntut sidang kode etik dijalankan secara adil, transparan, dan bebas dari intervensi politik. Kode etik harus menjadi instrumen pengawasan yang nyata, bukan simbol kosong yang hanya menghiasi dokumen hukum.
Skandal etik DPRD Garut menjadi alarm keras bahwa lembaga legislatif daerah tengah berada di ujung tanduk krisis kepercayaan. Pertanyaan besar pun mengemuka:
Apakah DPRD Garut berani membersihkan barisannya dengan menegakkan kode etik secara konsisten, atau justru memilih bersembunyi di balik aturan yang mereka ciptakan.(opx)